Ingatan Tidak Menyelamatkan Apa-Apa

Ingatan Tidak Menyelamatkan Apa-ApaIlustrasi: Kiagoos Auliansyah/detikcom

Jakarta - Hari ini, beberapa tahun silam, sebagai sepasang kekasih yang sebentar lagi akan saling kehilangan, kamu bertanya, "Apakah kita akan saling melupakan?"

Aku menggeleng.

"Sungguh?"

"Sungguh. Bahkan di kematian, kelak, kita tak boleh saling melupakan," kataku. Lalu kamu pergi, menjadi puisi yang tak seorang pun membacanya.

Hari ini, di daerah yang sangat jauh dari masa lalu, di ruang lain sesudah kematian, kamu tiba-tiba datang, duduk mendekat demi ketakutan. Jari kelingking kirimu bergetar. Menyala sewarna purnama sebelum balasannya luruh menyerupai bubuk bercahaya di udara.

Kau bertanya, "Apa yang terjadi dengan jariku?" Lalu bening jatuh dari pipi.

Dua hari kemudian kamu tiba sebagai orang baru. Barangkali kamu belum tahu, semua orang termasuk aku, juga engkau, akan kehilangan tulang-tulangnya. Satu per satu. Seperti juga kita pada masa lalu, satu per satu lahir kemudian mati dan pindah ke sini.

"Tak apa. Jangan takut," kataku. Tapi, kamu menangis menyerupai anak kecil yang ujung jarinya tertusuk duri mawar atau jarum dikala berguru menyulam. Aku memegang tanganmu, sekadar untuk membuatmu percaya bahwa di sini pun kamu tak akan kubiarkan sendiri. Lalu kamu diam. Tiba masanya di sepasang matamu yang berair saya lihat diriku gemetaran memegang erat tanganmu yang gres saja kehilangan satu ruas tulang jari kelingking kiri.

Tubuhku gemetaran sebelum lengan kananku menyala sewarna purnama, lantas luruh menyerupai bubuk bercahaya di udara. Wajahmu tak percaya. Begitu mudahkah seseorang melupakan seseorang yang lain? Demikian matamu berkata-kata.

"Tak apa," ucapku. "Aku sudah mengalami hal ini berkali-kali. Seseorang yang tak sanggup memperlihatkan apa-apa akan lebih gampang dilupakan. Meski yang sebaliknya, juga tak menjamin seseorang untuk diingat lebih lama." Kemudian lengan-lenganmu yang panjang memelukku. Sementara, lenganku yang tinggal satu berusaha keras membalas, namun tetap tidak menjangkau seluruh tubuhmu. Dadaku yang sedikit sesak oleh desak dadamu terasa lega oleh pelukanmu.

Aku tersenyum ketika langit menyerupai warna baju yang kamu kenakan. Ia masih sama menyerupai kemarin, atau sebelum kemarin, atau kemarinnya kemarin yang sangat kemarin. Seolah-olah tak ingin berganti baju. Kau melepas pelukan dan bertanya mengapa? Aku tak tahu harus menjawab bagaimana. Pengetahuan dicipta menyerupai sepasang mata pisau, untuk memperbaiki sekaligus menyakiti. Lantas, apakah saya harus memberitahumu, sementara saya tahu kamu niscaya akan duka karenanya? Lalu kamu menunduk, mengawasi entah apa. Atau, menyembunyikan entah apa.

"Di sini tak ada yang tahu seseorang akan tinggal berapa lama. Seperti halnya di dunia." Kau menoleh. "Usia kita ditentukan oleh ingatan orang-orang di dunia. Ingatan diciptakan sebagai sebentang jembatan, menghubungkan seseorang dengan seseorang lain. Itu sebabnya leluhur mengajari kita merawat pohon silsilah dan berziarah, memasang foto keluarga dan menyimpan bubuk jenazah, menyimpan barang-barang peninggalan, dan membuat hari-hari peringatan. Setiap kali seseorang di dunia benar-benar melupakan kita juga orang-orang di sini lainnya, satu ruas tulang kita luruh menyerupai abu. Hari ini, seseorang gres saja melupakanmu. Dan, hari ini, entah ke berapa kali seseorang melupakanku. Tak duduk perkara bagiku."

Di seberang sana, di bawah pohon renta yang entah apa namanya, sepasang mata kita termakan oleh bunyi batuk dari seorang lelaki renta yang bergetar hebat. Tubuhnya yang tinggal tubuh dan kepala itu berguncang. Lalu warna purnama pecah menyerupai bulan terbit dari dalam dirinya. Sesaat kemudian seluruh tubuh itu luruh menjadi serpih cahaya.

"Semahal itukah nilai sebuah ingatan?" tanyamu.

"Begitulah. Puncak sebuah simpulan hidup ialah dilupakan. Kau memang akan mati begitu nyawa terlepas dari tubuhmu. Tapi, ingat ini baik-baik, simpulan hidup itu menyerupai kamu sedang melepas baju. Ruh ialah dirimu bekerjsama dan jasad hanyalah baju. Tapi, di sini ruh siapa pun akan mengalami simpulan hidup yang benar-benar simpulan hidup begitu mereka dilupakan orang-orang di dunia. Tuhan membuat insan dengan 206 ruas tulang, tapi Ia hanya butuh satu ruas untuk membangkitkan setiap manusia. Kelak, bila tak seorang pun mengingat saya lagi, diriku tinggal tulang sebiji. Sebiji tulang yang hanya Tuhan seorang yang mengingatnya. Kau tahu, Tuhan tidak pernah lupa bukan?"

Kau mengangguk. Lalu berkata, maaf. Dan, saya hanya tersenyum.

"Itu sebabnya sebiji tulang tak sanggup luruh menjadi bubuk cahaya."

"Apakah ingatanku sanggup menyelamatkanmu?"

Aku diam. Aku tidak hendak menggubah sebaris puisi: ingatan tidak menyelamatkan apa-apa*). Tapi, saya teringat ketika kamu di dunia dan salah satu hal yang kamu benci dalam hidup ialah mengingat aku. Satu-satunya cara melupakanku ialah dengan mengingat hal-hal yang kamu benci dariku. Hingga bagimu, seakan-akan ingatan ialah hukuman. Tak duduk perkara bagiku, batinku sekali lagi, masih menyerupai dulu. Tapi, kelak ketika tulang setiap orang tinggal sebiji, apakah Tuhan sedang menghukum dirinya sendiri dengan terus mengingat?

Lalu lengan kananku gemetar, menyala sewarna purnama, kemudian menyerupai yang sudah-sudah, luruh menjadi belahan bubuk bercahaya.

Kau menangis. Seharusnya saya tak memberitahumu lebih. Aku menjadi membenci diriku yang membuatmu sedih, meski engkau pernah begitu benci kepadaku. Tak duduk perkara bagiku.

"Sudahlah. Anggap saja hal biasa. Orang-orang tiba dan hilang, mempunyai dan kehilangan, diingat dan dilupakan. Seperti sepasang kekasih, atau Adam dan Hawa, tulang-tulang dipasang dan dilepaskan. Ini sudah biasa."

Tapi, kamu masih menyerupai langit dan baju yang kamu kenakan kini dan hampir karam oleh air mata.

"Mmm...bagaimana jikalau kita jalan-jalan?"

"Ke mana?"

"Ke taman. Ada sebuah perayaan di sana, alasannya hari ini ialah malam Jumat. Entah siapa yang pertama menamainya, tapi orang-orang di sini menyebutnya Hari Mengingat."

"Hari Mengingat?"

"Ya."

"Apakah di sana kita akan mengingat orang-orang yang tubuhnya telah luruh menjadi bubuk bercahaya? Atau, apakah perayaan itu sanggup membuatmu kembali utuh?"

Aku menggeleng. Semua orang, tak terkecuali aku, tak ada yang tahu apakah semua itu penting? Apakah semua itu sanggup mengubah semua yang telah terjadi? Orang-orang berkumpul, bertukar cerita, umpatan, pujian, dan ledekan perihal bagaimana mereka hingga di sini, bagaimana mereka mati. Satu-satunya perkara yang sama sekali tidak terjadi di dunia. Mereka tertawa sambil melupakan tubuh mereka yang perlahan luruh. Perayaan hanyalah nama lain perkabungan. Mereka tahu, keberadaan mereka hanya sementara, yang infinit ialah kesementaraan itu sendiri.

Jam delapan. Di satu sudut taman pada Hari Mengingat kita duduk di dingklik menyerupai sepasang insan ikan dalam lukisan The Wonder of Nature. Seorang pengamen tiba dan sebelum menyanyikan sebuah lagu, ia membuat lawakan perihal bagaimana ia hingga di sini. Pengamen itu memulai dengan tebakan, "Kau tahu kenapa tulang-tulangku tak pernah luruh?"

Kita menggeleng.

Lalu ia melanjutkan, "Aku terlahir sebagai seorang pengamen sebagaimana bapakku lahir sebagai pengamen dan sebagaimana kakek, buyut, canggah, dan seluruh leluhurku menjadi pengamen. Ketika anakku umur tujuh dan berkata, saya mau jadi dokter, saya bilang, jangan! Kau hanya akan membuat belum dewasa kecil menangis lantaran kamu takut-takuti dengan jarum suntik."

Kau tertawa. Kita tertawa. Dalam hati saya ingin bertanya, "Apa kamu bahagia?"

Pengamen itu pergi sesudah rela kamu bayar hanya dengan satu senyum. Kemudian semuanya surut, dan kamu bercerita. Kau bercerita bahwa semenjak kepergianku, kamu menentukan tak menentukan siapa-siapa. Menyendiri menyerupai pertapa, kemudian kamu menulis banyak cerita. Menulis, katamu mengutip seorang penulis, ialah bekerja untuk keabadian.**)

Aku tersentak. "Apakah semua penulis, termasuk kamu dan lelaki renta itu sudah tahu perihal dunia ini?"

Kau menggeleng, mungkin untuk dirimu sendiri. Dan, berkata, "Mungkin," --mungkin untuk lelaki renta itu.

"Ngomong-ngomong, apa lelaki renta itu juga ada di sini?"

Aku menggeleng, Belum pernah ketemu. "Menurutmu, apa yang akan beliau lakukan di sini?" tanyamu.

"Menulis."

"Untuk apa beliau menulis di sini?"

"Entahlah. Kurasa lantaran beliau seorang penulis. Itu saja. Sesederhana itu."

Lantas kamu mengalihkan pembicaraan dengan bercerita penuh senang perihal buku-bukumu yang cetak berulang-ulang dan namamu diingat oleh banyak orang sebelum kamu berpulang.

"Kau beruntung," kataku. Kau tersenyum. Lalu ujung jari kelingking kirimu diliputi cahaya, sesaat kemudian jarimu kembali utuh. Di dunia sana mungkin bertambah lagi seseorang atau beberapa yang mengingatmu, mungkin lewat bukumu.

Sementara, dalam diriku seseorang bertanya, "Sementara aku?"

Kepada orang lain dalam diriku mungkin tak perlu saya memperlihatkan jawaban. Aku mengucapkan selamat kepadamu dengan sebuah pelukan. Lalu tubuh kita saling rengkuh menyerupai sepasang insan ikan dalam sebuah lukisan. Tubuhku bergetar. Matamu mungkin sedang terpejam dalam pelukan atau dadamu yang tak lagi merasakan. Tubuhku bergetar. Mungkin terlalu halus, hingga tak membuatmu tersadar.

Satu-satunya hal yang saya takutkan ialah ketika kamu membuka mata, lantas berkata, "Ingatan tidak menyelamatkan apa-apa." Sementara itu, kamu jadi membenci diri sendiri dan berharap sekali segera dilupakan.

Tuban, 2018

Keterangan:
*) Ingatan tidak menyelamatkan apa-apa, menggubah puisi M Aan Mansyur: puisi tidak menyelamatkan apa-apa
**) Mengutip Pramoedya Ananta Toer

Umar Affiq penulis cerpen, puisi, dan resensi kelahiran Rembang, Jawa Tengah. Bergerak di Komunitas Sastra Malam Minggu. Hari Anjing-Anjing Menghilang ialah cerpennya yang memenangi kompetisi Kampus Fiksi Emas 2017 Diva Press. Buku kumpulan cerpennya yang terbaru berjudul Di Surga Kita Dilarang Bersedih (Basabasi, 2018)

Redaksi mendapatkan kiriman naskah cerpen, tema bebas, diubahsuaikan dengan huruf detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com